MAKALAH DISLOKASI

MAKALAH

DISLOKASI

Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sistem Informasi Keperawatan

 

 
 

Dosen Pengampu:

Annas Sumeru, M.Kep., Sp.Kep.MB

 

Disusun oleh:

Kelas A Keperawatan Reguler A 2019

Kelompok 2:

1.    Ayu Fitriani Solihah                       I1B019001

2.    Hasnatri Aulia Anwari                   I1B019011

3.    Putri Salma Nabila                         I1B019013

4.    Zahra Berliana Setyo Putri             I1B019015

5.    Asika                                              I1B019035

6.    Arini Sabila Jannata                       I1B019045

7.    Mu’taziatul Adhimah                     I1B019051

8.  Ardina Mispa Uji M.                      I1B019057

Semester 3

JURUSAN KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDRIMAN

PURWOKERTO

2020


KATA PENGANTAR

Puji sukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah yang berjudul “Dislokasi” dapat selesai pada waktunya.

            Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Bapak Annas Sumeru, M.Kep., Sp.Kep.MB pada mata kuliah Sistem Informasi Keperawatan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang dislokasi yang dapat terjadi pada persendian.

            Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

 

 

Purwokerto,  18 Oktober 2020

 

 

Penulis


 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Dislokasi adalah keadaan terpisahnya dua permukaan sendi secara keseluruhan. Dislokasi dapat terjadi dimanapun, akan tetapi lebih sering terjadi pada bahu, jari, siku, lutut, dan panggul. Terjadinya dislokasi dapat dipicu oleh beberapa hal diantaranya yaitu olahraga yang berlebih tanpa diserta pemanasan terlebih dahulu, kecelakaan, faktor usia (semakin tua, semakin berisiko terkena dislokasi). Penyebab utama dislokasi karena adanya trauma yang disebabkan oleh benturan keras.

Pentingnya mengetahui dislokasi serta tanda gejala yang terjadi agar terhindar dari terjadinya komplikasi yang dapat berpengaruh pada kerusakan saraf dan pembuluh darah pada sekitar sendi, peradangan, dan meningkatkan risiko cedera pada sendi yang terkena dislokasi. Apabila sudah terjadi dislokasi yang cukup parah, maka penanganannya diserahkan pada dokter yang dapat dilakukan reduksi dan operasi. Seorang perawat dapat membantu mobilisasi klien yang terkena dislokasi, usahakan klien untuk melakukan sedikit pergerakan saat terjadi dislokasi agar tidak memperparah dislokasi yang dialami. Perawat membantu mengedukasi klien agar mengisitirahatkan sendi yang cedera selama beberapa waktu dengan tidak melakukan terlalu banyak pekerjaan, bantu pengobatan non farmakologi klien dengan kompres menggunakan es apabila efek farmakologi pengaruhnya sedikit serta monitor selalu keadaan klien sebelum dan setelah diberikan obat. Pentingnya mengetahui tentang dislokasi agar dapat dilakukan pencegahan sebelum terjadinya kecelakaan dengan menghindari trauma pada sendi, berhati-hati ketika melakukan aktivitas dan segera ke pelayanan kesehatan apabila terjadi dislokasi agar dapat segera ditangani dan komplikasi dislokasi pun dapat dihindari.

1.2  Tujuan

1.2.1        Untuk mengetahui definisi dislokasi

1.2.2        Untuk mengetahui jenis-jenis dislokasi

1.2.3        Untuk mengetahui komplikasi dari dislokasi

1.2.4        Untuk mengetahui etiologi terjadinya dislokasi

1.2.5        Untuk mengetahui faktor risiko dislokasi

1.2.6        Mampu menjelaskan patofisiologi dislokasi

1.2.7        Untuk mengetahui manisfestasi klinis dislokasi

1.2.8        Mengetahui penatalaksanaan dislokasi

1.2.9        Mampu membuat asuhan keperawatan sesuai dengan kasus


BAB II

ISI

2.1 Definisi Dislokasi

Dislokasi  adalah cedera pada sendi yang terjadi ketika tulang bergeser dari posisinya yang menyebabkan ketidakutuhan dari bentuk semula. Subluksasi menekankan pada pergeseran menggunakan derajat yang lebih ringan dengan permukaan sendi sebagian masih beraposisi. Trauma berat dapat menyebabkan dislokasi yang mengganggu kemampuan ligamen menahan tulang di tempatnya. Dislokasi sendi juga dapat terjadi secara kongenital (displasia perkembangan panggul bayi baru lahir). Sedangkan untuk dislokasi akibat trauma memiliki gejala nyeri, pembengkakakan, dan kehilangan rentang gerak sendi. Terkadang suara letupan dapat terdengar selama proses pemeriksaan fisik. Dislokasi sendi biasanya akan tampak pada radiograf dan diatasi dengan manipulasi atau bedah perbaikan yang diikuti dengan imobilitas sampai struktur sendi sembuh (Corwin, 2009).

Seorang yang mengalami dislokasi bentuk sendinya dapat berubah menjadi abnormal dan penanda tulang dapat bergeser. Dislokasi yang terjadi pada ekstremitas akan dilakukan penahanan pada posisi tertentu dikarenakan pergerakannya menyebabkan rasa nyeri dan juga terbatas. Foto sinar-X biasanya memperjelas diagnosis dan juga menunjukkan adanya luka tulang yang mempengaruhi stabilitas sendi (dislokasi fraktur). Sendi yang dicurigai terjadi dislokasi dapat dilakukan pengecekan dengan menekannya. Apabila terjadi dislokasi pada lokasi tersebut pasien akan merasakan rasa nyeri menetap yang tidak tertahankan lebih jauh. Dislokasi berulang dapat terjadi apabila batas sendi dan ligamen rusak. Hal ini sering terjadi pada dislokasi sendi bahu dan sendi patellofemoral (Ermawan et al, 2019).  

Dikarenakan terpelesetnya sendi dari tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamennya dapat menjadi kendor. Akibatnya, sendi itu akan mudah mengalami dislokasi berulang.

2.2 Jenis-jenis Dislokasi

2.2.1        Dislokasi Siku

Sendi siku merupakan sendi yang disusun oleh  tiga tulang yang saling berhubungan yaitu tulang humeri dibagian distal, tulang ulna dan radial dibagian proksimal. Siku merupakan jenis sendi yang sering mengalami dislokasi pada orang dewasa. Menurut Moore dan Dalley (2013), sendi siku merupakan sendi yang stabil karena diperkuat oleh ligamen-ligamen collaterale medial, collaterale lateral, dan annulare. Ligamen collaterale medial dan collaterle lateral ini yang menghubungkan humerus ke ulna untuk menjaga tulang tetap ditempatnya. Namun, ligamen –ligamen dapat robek apabila terjadi cedra atau dislokasi sehingga ligamen dapat longgar dan tidak stabil.


Gambar.1 Dislokasi Siku

(Sumber Gambar: orthoinfo.aaos.org)

Dislokasi siku sering terjadi ketika seseorang terjatuh dengan posisi tangan terlentang lurus dimana sendi tersebut menjadi tumpuan untuk menahan, karena adanya benturan keras pada saat terjatuh  yang langsung terkirim ke siku dapat mengakibatkan dislokasi. Pada saat siku mengalami dislokasi, terdapat beberapa tingkatan pada cedera setiap strukturnya yaitu diantaranya dislokasi sederhana dimana tidak terjai cedera pada tulang dan dislokasi kompleks dimana terjadinya cidera berat pada tulang dan ligamen yang dapat mengakibatkan seseorang beresiko untuk kehilangan lengannya.

2.2.2        Dislokasi Bahu

Dislokasi bahu biasanya diakibatkan karena danya abduksi, ekstensi dan rotasi traumatik yang berlebihan pada ektermitas atas. Kaput humeri biasanya tergeser ke anterior dan inferior melalui robekan traumatik pada kapsul sendi bahu. Pada awal pemeriksaan dislokasi bahu penting untuk memeriksa keadaan neurovaskuler dari ektermitas yang mengalami cedera dengan memeriksa insersio otot deltoideus humerus, dimana pada daerah tersebut tempat menerima persyarafan sensoris dari saraf aksilaris. Jika terjadi analgesik lokal pada daerah tersebut maka kemungkinan terjadinya cedera pada saraf aksilaris, dimana fungsi dari saraf diperlukan untuk abduksi bahu sehingga pseseorang enderita dapat menempatkan lengan secara fungsional. Cedera pada saraf tersebut sering kali mengakibatkan dislokasi pada bahu (Price dan Wilson, 2006).


Gambar.2 Dislokasi Bahu

(Sumber Gambar : Alomedika.com)

2.2.3        Dislokasi Panggul

Dislokasi panggul merupakan salah satu keadaan gawat darurat ortoperdik yang sering terjadi. Jika dislokasi panggul ini tidak direduksi dalam waktu beberapa jam setelah cedera dapat mengakibatkan kemungkinan terjadinya nekrosis aseptik yang berat. Dislokasi ini biasanya dapat dikenali karena adanya nyeri pada daerah glutea, lipat paha, dan paha yang disertai dengan posisi ekstermitas bawah yang kaku pada saat abduksi, rotasi interna dan fleksi (Price dan Wilson, 2006).


Gambar.3 Dislokasi Panggul

(Sumber Gambar : Medicinesia.com)

2.2.4        Dislokasi Temporomandibular

Dislokasi temporomandibular merupakan dislokasi yang ditandai dengan adanya kondilus yang terlepas pada posisi normal. Dislokasi temporomandibular dapat disebabkan karena adanya induksi trauma secara spontan dan juga dapat disebabkan ketika sesorang membuka mulut dengan kuat dari intubasi endotrakeal dengan larungeal mask atau tabung trakea. Dislokasi ini dapat terjadi pada bagian anterior-medial, superior, medial, lateral atau dislokasi posterior. Dislokasi anterior merupakan dislokasi yang sering terjadi karena adanya perpindahan kondilus anterior ke artikular eminensia tulang temporal, dimana dislokasi pada bagian ini biasanya menjadi tambahan dari aktivitas normal otot saat mulut menutup dengan ekstrim.  Selanjutnya dislokasi posterior yang bisanya terjadi karenan adanyan tekanan langsung ke dagu, dimana kodilus mandibula di dorong menuju mastoid. Pada dislokasi superior biasanya dapat terjadi karena adanya tekanan langsung ke mulut yang setengah terbuka, dimana sudut mandibula menjadi kecil dan bulat yang menjadi faktor terjadinya fraktur glenoid dan dislokasi mandibula ke dasar tengkorak tengah (Septadina, 2015).

2.3 Komplikasi

Komplikasi dari dislokasi sendi dikategorikan menjadi dua yaitu dislokasi akut dan dislokasi kronis, beriku beberapa klasifikasi dari dislokasi akut dan kronis :

2.3.1        Akut

2.3.1.1  Artritis Septik

Artritis Septik merupakan salah satu komplikasi akut pada dislokasi sendi yang diakibatkan karena adanya infeksi bakteri. Artritis septik ini merupakan penyakit yang dapat merusak kartilago hyalin artikular secara cepat dan menyebabkan sendi kehilangan fungsi ireversibel. Sumber infeksi yang menyebabkan penyakit artritis septik ini dapat masuk melalui beberapa cara diantaranya yaitu hematogen, inokulasi langsung bakteri ke ruang sendi, dan melalui infeksi pada jaringan muskuloskeletal sekitar sendi (Darya dan Putra, 2009).

2.3.1.2  Avascular Necrosis (Osteonekrosis)

Avascular Necrosis merupakan salah satu komplikasi akibat dislokasi yang ditandai dengan kematian sel tulang yang diakibatkan karena adanya gangguan aliran darah ke tulang yang disebabkan oleh kejadian traumatik maupun non traumatik. Faktor yang menjadi predisposisi avaskular necrosis yaitu diantaranya trauma panggul fraktur kolum femur dan acetabulum, dislokasi panggul, kontisio, terkilir, penggunaan glukokortikoid jangka panjang dengan dosis yang tinggi, penggunaan alkohol jangka panjang, trombofilia, hipofibrinolisis, dan penyakit autoimun yang memadat terapi steroid (users, 2015).

2.3.2        Kronis

2.3.2.1  Refleks Simpatik Distrofi (RSD)

RSD merupakan suatu sindrom difus yang ditandai dengan nyeri, bengkak, disertai gangguan vasomotor, sudomotor, dan motorik. Nyeri yang terjadi pada RDS dapat mengenai ekstermitas atas maupun bawah sehingga menyebabkan terbatasnya ruang gerak sendi (Safei dkk, 2019). Penyebab dari refleks distrofi ini belum diketahui secara pasti, namun para ahli berkeyakinan bahwa penyebab dari rds ini kemungkinan meilbatkan peradangan abnormal sendi atau adanya disfungsi saraf.

2.3.2.2  Reumatid Artritis

Reumatoid artritis merupakan penyakit inflamasi autoimun-sistemik, progresif dan kronik yang mempengaruhi jaringan dan organ yang pada prinsipnya merusak sendi-sendi sinovial (Fauzi, 2019). Pada Reumatoid Artritis, inflamasi tidak berkurang dan menyebar ke struktur sendi disekitarnya, termasuk kartilago artikular dan kapsul sendi fibrosa sehingga pada akhirnya ligamen dan tendon mengalami inflamasi. Proses inflamasi ini memproduksi respon inflamasi dari sinovium (sinovitis) sehingga menyebabkan hiperplasia sel-sel sinovum, produksi cairan sinovial berlebihan, dan terbentuknya panus pada sinovum. Proses ini secara lambat merusak tulang rawan sendi dan menimbulkan nyeri serta deformitas. Agen pemicu RA yaitu bakteri, mikroplasma, atau virus yang menginfeksi sendi sendi atau mirip sendi secara antigenik.

2.4  Etiologi

Dislokasi terjadi ketika tulang bergeser dari posisinya pada sendi (Corwin, 2009). Penyebabnya adalah sebagai berikut:

2.4.1        Trauma berat yang mengganggu kemampuan ligament menahan tulang di tempatnya.

2.4.2        Occult joint instability (terpisahnya permukaan sendi karena mendapatkan tekanan pada sendi tersebut)

2.4.3        Displasia perkembangan panggul (kondisi kongenital pada panggul yang dijumpai pada bayi baru lahir)

2.5 Faktor Risiko

Dislokasi sendi biasanya sering terjadi di sendi bahu, jari, siku, lutut, dan panggul. Namun juga memungkinkan pada sendi tubuh bagian yang lain. Berbagai faktor bisa meningkatkan risiko cedera hingga terjadinya dislokasi, diantaranya sebagai berikut.

2.5.1        Aktivitas fisik.

Aktivitas fisik yang terlalu berat atau berlebihan, dan kesalahan dalam akitivitas olahraga dapat memicu dislokasi. Dari segi olahraga berbagai faktor dapat meningkatkan risiko cedera olahraga antara lain adalah faktor atlet dan faktor sarana prasarana olahraga sebagai fasilitas pendukung, serta faktor jenis olahraga juga berpengaruh terhadap risiko cedera.

Faktor atlet diantara sebagai berikut:

2.5.1.1  Faktor usia dan kondisi fisik: dipengaruhi oleh faktor usia dan kondisi fisik atlet. Semakin tua, kondisi fisik atlet serta berkaitan dengan ketahanan dan penyembuhan cedera. Pada usia 25 tahun kekuatan otot mencapai maksimal. Namun pada rentang usia 30-40 tahun kekuatan otot relative menurun karena setelah usia 30 tahun elastisitas tendon menurun, kekuatan otot juga menurun setelah usia 40 tahun.

2.5.1.2  Faktor perilaku: seorang atlet yang perilakunya kasar, sangat emosional, temperamen tinggi cenderung mengalami cedera baik cedera yang mengenai dirinya atau terhadap lawan main. Hal ini karena mereka tidak memperhatikan risiko yang akan terjadi. Contohnya: saat kalah dalam perebutan bola kemudian melakukan tekling keras terhadap lawan.

2.5.1.3  Faktor Pengalaman: atlet senior atau atlet yang memiliki pengalaman lebih banyak dalam berttanding lebih menyadari akan risiko terjadinya cedera, sehingga risiko terjadinya cedera lebih kecil dibanding dengan atlet junior/ pemula.

2.5.1.4  Faktor Pemanasan: Jika pada tahap latihan kurang pemanasan atau salah teknik latihan gerakan atau pukulan yang keliru maka akan mengakibatkan otot belum teratur sehingga tidak siap menerima pembebanan sehingga mudah terjadi cedera.

2.5.1.5  Faktor Program Latihan: Program latihan terlalu berat terlebih menjelang  tanpa ada waktu istirahat atau jarak kompetisi satu dengan yang lain atau terlalu dekat juga meningkatkan faktor cedera.

2.5.1.6  Tingkat kebugaran fisik: Jika kondisi fisik atlet kurang fit dan mudah lelah maka saat berbenturan dengan pemain yang kondisi fisiknya lebih bugar dan bagus mudah timbul cedera.

2.5.1.7  Faktor lainnya: Jika keadaan gizi kurang dan istirahat tidak cukup pada atlet juga berisiko memicu cedera saat berolahraga.

Selain faktor atlet, berikut tinjauan dari segi faktor sarana prasarana olahraga sebagai fasilitas pendukung:

2.5.1.1  Kondisi lapangan: lapangan yang tidak rata, becek, licin meningkatkan risiko terjadinya cedera.

2.5.1.2  Perlengkapan safety: alat perlengkapan dan pelindung yang tidak tepat seperti penggunaan  sepatu yang tidak sesuai ukuran, sol sepatu sudah menipis juga memicu risiko cedera.

2.5.1.3  Penerangan: cahaya yang terlalu silau, atau remang-remang dapat mempengaruhi perkiraan jarak pandang datangnya bola/pukulan. Apabila menganggu fokus dan jarak pandang maka bisa memicu terjadinya cedera.

2.5.1.4  Cuaca: Kondisi cuaca seperti hujan deras berpotensi memudahkan pemain jatuh terpeleset.

2.5.1.5  Wasit: wasit yang kurang tegas/kurang memahami peraturan pertandingan dan tidak fair play.

2.5.1.6  Pelatih: pelatih yang berambisi kemenangan dengan cara apapun tanpa melihat atletnya cedera.

2.5.1.7  Penonton: penonton yang fanatik/emosional, tidak bisa menerima kekalahan.

2.5.1.8  Petugas keamanan: kurang siap menghadapi kericuhan dan kecelakaan dalam pertandingan olahraga.

Sementara itu, faktor jenis olahraga yang berisiko cedera terbagi diantaranya:

2.5.1.1  Olahraga body contack: tinju, karate, sepak bola, basket.Olahraga yang membutuhkan kekuatan besar: angkat besi, angkat berat, gulat, judo.

2.5.1.2  Olahraga kompetisi: dalam kompetisi olahraga semangat tinggi karena adanya persaingan tinggi menyebabkan atlet berusaha semaksimal mungkin sehingga potensi cedera juga semakin tinggi.

2.5.2          Kecelakaan kendaraan bermotor.

Seseorang yang mengalami jatuh, tabrakan, benturan atau bentuk trauma lainnya dalam kecelakaan kendaran bermotor juga berpotensi mengalami dislokasi.

2.5.3        Keturunan.

Faktor genetik pada beberapa orang yang dipengaruhi kondisi ligamen yang lebih lemah sejak lahir berisiko mengalami dislokasi.

2.5.4        Jenis Kelamin

Frekurensi dislokasi dilaporkan lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita. Angka frekurensi pada pria adalah 46,84% dan pada wanita sebesar 27,22%.

2.5.5        Riwayat dislokasi bahu sebelumnya.

Pasien dengan riwayat dislokasi akan lebih mudah mengalami redislokasi ulang, terutama bila dislokasi pertama menyebabkan robekan rotator cuff, labrum, atau fraktur glenoid.

2.6  Patofisiologi

Stabilitas sendi adalah hasil kerjasama dari bentuk dan jenis sendi, integritas kapsula fibrosa dan ligament, serta perlindungan dari otot yang menggerakan sendi. Peran faktor tersebut berbeda-beda pada masing-masing sendi. Kontur sendi menjadi faktor penting pada sendi jenis ball and socket (misalnya sendi panggul). Ligament berperan penting pada sendi engsel (misalnya sendi siku dan lutut). Integritas kapsula fibrosa dan otot sekitar sendi berperan penting pada sendi yang bergerak bebas (misalnya sendi bahu). Apabila terjadi gangguan pada salah satu faktor tersebut dapat mengakibatkan ketidakstabilan sendi.

Subluksasi merupakan istilah yang menunjukkan adanya deviasi hubungan normal antara rawan yang satu dengan rawan lainnya serta masih menyentuh sesuai pasangannya, apabila kedua bagian tersebut tidak menyinggung satu sama lain maka disebut dislokasi (Price dan Wilson, 2012). Dislokasi sendi dapat terjadi setelah trauma yang mengganggu ligament untuk menahan tulang pada tempatnya. Dislokasi juga dapat diakibatkan oleh kelainan kongenital, seperti dysplasia perkembangan panggul pada bayi baru lahir. Pada dislokasi akibat trauma, respon yang didapatkan berupa nyeri, pembengkakan, dan kehilangan rentang gerak sendi. Suara letupan juga dapat terdengar ketika terjadi dislokasi atau selama pemeriksaan fisik. Dislokasi biasanya terlihat pada radiograf dan diatasi dengan manipulasi atau bedah serta imobilisasi sampai struktur sendi sembuh (Corwin, 2009).

Dislokasi bahu paling sering dialami oleh anak muda dan biasanya diakibatkan abduksi, ekstensi, dan rotasi eksterna traumatik yang berlebihan pada ekstremitas atas (Price dan Wilson, 2012). Melalui robekan traumatik pada kapsul sendi bahu, kaput humeri biasanya tergeser ke anterior dan inferior. Kaput humeri dapat mudah diraba di bagian anterior aksila serta cekungan di bawah origo sentral otot deltoideus pada akromion. Pada pemeriksaan awal perlu diperiksa keadaan neurovaskular dari ekestremitas yang mengalami cedera, yaitu dengan memeriksa sensasi di insersio otot deltoideus humerus. Daerah tersebut menerima persarafan sensoris dari saraf aksilaris. Apabila terdapat daerah anestetik lokal dengan batas jelas maka terdapat kemungkinan terjadi cedera saraf aksilaris. Demikian pula kemampuan penderita untuk menegangkan otot deltoideus secara minimal dalam usahanya memulai abduksi juga merupakan faktor untuk menilai fungsi saraf aksilaris. Fungsi saraf aksilaris untuk abduksi bahu sehingga pasien dapat menempatkan lengan secara fungsional. Gangguan saraf ulnaris juga terjadi dalam frekuensi yang sama dengan gangguan saraf aksilaris pada dislokasi bahu. Kelumpuhan saraf ulnaris sangat berpengaruh pada fungsi tangan.

Dislokasi panggul merupakan salah satu dari sedikit keadaan gawat darurat ortopedik. Kalau panggul yang mengalami dislokasi tidak direduksi dalam beberapa jam sesudah cedera, maka kemungkinan pasien tersebut akan mengalami nekrosis aseptik yang besar. Dislokasi panggul biasanya dapat dikenali dari adanya nyeri pada daerah glutea, lipat paha dan paha, disertai posisi ekstremitas bawah yang kaku pada waktu adduksi, rotasi interna, dan fleksi.


(Sumber Pathway : academia.edu)

2.7 Manisfestasi Klinis

2.7.1        Pemeriksaan fisis

2.7.1.1  Look : pembengkakan, terdapat deformitas baik angulasi, rotasi, perubahan kontur normal, ataupun pemendekan struktur yang terlibat.

2.7.1.2  Feel : nyeri tekan.

2.7.1.3  Move : keterbatasan gerak dan gerakan abnormal.

2.7.2        Pemeriksaan penunjang utama dalam menegakkan diagnosis adalah roentgen. Roentgen juga berperan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya fraktur pada sendi yang terlibat.

2.7.2.1  Pasien dalam kondisi sudah tereduksi, dapat dilakukan tes apprehension (manipulasi yang serupa dengan gaya penyebab cedera serta dilakukan secara gentle). Apabila pasien nyeri atau menghindari gaya tersebut artinya sendi tersebut telah mengalami dislokasi.

2.7.2.2  Dislokasi berulang, terutama pada sendi bahu dan patelofemoral. Biasanya disebabkan kerusakan pada ligament dan batas-batas sendi.

2.7.2.3  Dislokasi habitual (volunteer), disebabkan gerakan otot secara sadar dan dapat merupakan kebiasaan pasien.

2.8 Penatalaksanaan

Secara umum penatalaksanaan dislokasi ada beberapa tahap penanganan yang harus dilakukan diantaranya :

2.8.1        Reduksi, semua jenis dislokasi pada dasarnya harus di reduksi sesegera mungkin. Pada Tindakan ini dilakukan oleh dokter untuk mengembalikan posisi tulang ke posisi seharusnya. Pada Tindakan ini juga pasien sebaiknya diberikan pelemas otot ataupun keadaan pasien dalam anastesi umum. Penundaan Tindakan reduksi akan menimbulkan resiko terjadinya artitritis pasien post-traumatik.

2.8.2        Imobilisasi, tulang yang telah direduksi atau dikembalikan pada posisi semua tentunya membutuhkan pemulihan dengan cara membatasi gerak atau menghambat gerak sendi, yang biasanya pembatasan gerak ini dibantu dengan sebuah alat penyangga sendi misalnya gips. Sendi yang dislokasi ini tentunya harus diistirahatkan dan dipulihkan hingga edema pada jaringan lunak yang terjadi berkurang dan terjadi penyembuhan. Biasanya imobolisasi ini membutuhkan waktu beberapa minggu.

2.8.3        Setelah berminggu-minggu pasien dianjurkan untuk melatih lingkung gerak sendi dengan functional brace, terkadang juga diikuti dengan Tindakan fisioterapi untuk memaksimalkan gerak sendi. Terkadang apabila Tindakan ini tidak merubah atau tidak memunculkan pembaikan pada pasien. Dokter akan mempertimbangkan dan mengambil tata laksana bedah atau operasi.

2.8.4        Operasi, biasanya Tindakan ini dilakukan apabila tulang yang dislokasi tidak mampu direduksi. Tindakan ini juga dilakukan apabila terjadi kerusakan pada pembuluh darah, ligament ataupun saraf yang berhubungan ataupun berdekatan dengan tulang yang dislokasi.

2.8.5        Rehabilitasi, yaitu keadaan Ketika alat penyangga sendi dilepas. Pada fase ini pasien harus bersabar untuk sama-sama memulihkan jangkauan gerak.

2.8.6        Adapun tata laksana secara farmakologis pada pasien dislokasi yaitu dengan memberikan obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) dalam penggunaan jangka pendek. Pemberian obat anti inflamasi ini bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri hebat pada sendi pasien dislokasi.

2.9 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dislokasi

Tn Z berumur 31 tahun merupakan seorang pembalap motor, datang ke UGD Rumah Sakit Harapan Sehat dengan keluhan nyeri lutut, dan tubuh merasa lemah dan gerakan lututnya terbatas setelah kecelakaan terjatuh dari motor ketika sedang melakukan balap motor, pasien merasa gelisah, meringis dan mengehela napas panjang merasakan kesakitan dan sakit pada lutut bertambah saat lutut ditekuk. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan TD 100/90 mmHg, nadi 90x/menit, pernapasan 24x/menit, suhu 37 C, tampak adanya perubahan kontur sendi pada lututnya, terasa nyeri saat ditekan, Berdasarkan hasil rongten terdapat diaalokasi tanpa fraktur. Pasien rencananya akan dilakukan tindakan operasi.

Diagnosis keperawatan:

2.8.7        Nyeri akut b.d. agen cedera fisik.

2.8.8        Hambatan mobilitas fisik b.d. gangguan muskuloskeletal.

2.8.9        Ansietas b.d. kurangnya pengetahuan tentang penyakit.

Data

Masalah

Etiologi

NIC

DS:

-          Pasien mengatakan jatuh dari motor ketika sedang balap motor

-          Pasien mengeluhkan nyeri di lutut dan nyeri bertambah ketika ditekuk/ditekan

DO:

-          TD: 100/90 mmHg

-          Nadi: 90x/menit

-          RR: 24x/menit

-          Suhu: 37oC

-          Pasien meringis kesakitan

-          Pasien menghela napas panjang

-          Hasil rontgen menunjukkan dislokasi tanpa fraktur

Nyeri akut

Agen cedera fisik

Manajemen nyeri akut:

1.  Lakukan pengkajian nyeri komprehensif, meliputi lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi dan kualitas, intensitas serta apa yang mengurangi nyeri dan faktor yang memicu

2.  Identifikasi nyeri selama pergerakan, misalnya aktivitas yang diperlukan untuk pemulihan (ambulasi, transfer ke kursi)

3.  Monitor nyeri menggunakan alat pengukur yang valid dan relieable sesuai dengan kemampuan komunikasi (skala 0-10)

4.  Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai ketidaknyamanan

5.  Yakinkan bahwa pasien menerima perawatan analgesik yang tepat sebelum nyeri menjadi lebih parah atau sebelum aktivitas yang akan memicu nyeri

6.  Monitor status sedasi dan pernapasan sebelum memberikan opioid diberikan.

 

Sentuhan terapeutik

1.  Catat apakah pasien telah mengalami respon relaksasi dan perubahan yang berikaitan.

DS:

-          Pasien melaporkan gerakan lututnya terbatas

-          Pasien melaporkan tubuhnya terasa lemah

DO:

-          TD: 100/90 mmHg

-          Nadi: 90x/menit

-          RR: 24x/menit

-          Suhu: 37oC

-          Adanya perubahan kontur sendi pada lutut

-          Hasil rontgen menunjukkan dislokasi tanpa fraktur

Hambatan mobilitas fisik

Gangguan muskuloskeletal

Perawatan tirah baring:

1.  Jelaskan alasan diperlukannya tirah baring (pra operasi)

2.  Tampatkan matras atau kasur terapeutik dengan cara yang tepat

3.  Letakkan alat untuk memposisikan tempat tidur dengan jangkauan yang mudah

4.  Letakkan meja di samping tempat tidur berada dalam jangkauan pasien

5.  Balikkan pasien yang tidak dapat mobilisasi paling tidak setiap 2 jam, sesuai dengan jadwal spesifik.

 

Manajemen lingkungan: kenyamanan

1.  Fasilitasi tindakan-tindakan kebersihan untuk menjaga kenyamanan

2.  Posisikan pasien untuk memfasilitasi kenyamanan (prinsip keselarasan tubuh, sokong sendi selama pergerakan, imobilisasi bagian tubuh yang nyeri)

DS:

-          Pasien mengatakan merasa gelisah

DO:

-          TD: 100/90 mmHg

-          Nadi: 90x/menit

-          RR: 24x/menit

-          Suhu: 37oC

-          Pasien meringis kesakitan

-          Hasil rontgen menunjukkan dislokasi tanpa fraktur

Ansietas

Kurangnya pengetahuan tentang penyakit

Manajemen lingkungan: kenyamanan

1.  Berikan sumber-sumber edukasi yang relevan dan berguna mengenai cedera.

 

Manajemen nyeri: akut

1.  Sediakan informasi akurat pada pasien dan keluarga mengenai pengalaman nyeri pasien.

 

Sentuhan terapeutik

1.  Nasehatkan pasien untuk menanyakan pertanyaan kapanpun mereka punya pertanyaan

 

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

       Dislokasi merupakan cedera yang dapat menyerang persendian yang ditandai dengan pergeseran tulang pada posisi semula. Biasanya terjadi di bagian bahu, jari,siku, lutut, dan punggul. Hal ini dapat dipengaruhi oleh aktivitas fisik, kecelakaan ataupun faktor genetik dari klien.

     Dislokasi dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis yaitu dislokasi siku, bahu, panggul, dan temporomandibular. Penyebab dari dislokasi diyakini diakibatkan oleh trauma berat, occult join inabiliting, dan dysplasia yang dialami oleh penderita. Selain itu, dislokasi dapat menimbulkan penyakit baru atau komplikasi. Komplikasi ini dikategorikan menjadi dua yaitu akut dan kronis.

     Untuk menangani masalah ini biasanya dokter akan melakukan reduksi, operasi, dan pemberian obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS). Sedangkan tindakan yang biasanya dilakukan oleh perawat adalah dengan melatih pergerakan sendi dan membantu imubilisasi klien untuk menunjang proses penyembuhan.

3.2 Saran

Sebagai mahasiswa keperawatan yang nantinya akan menjadi seorang perawat, diharapkan mampu memahami masalah dislokasi untuk menunjang ilmu pengetahuan dan sebagai bekal dalam proses pemberian asuhan keperawatan kepada klien.

 

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC.

Brunner & Suddarth. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12. Jakarta: EGC.

Darya, I & Putra, T. (2009). Diagnosis dan Penatalaksanaan Artritis Septik. Bali (ID) : Universitas Udayana.

Diana, R. (2017). WOC Dislokasi Sendi. https://www.academia.edu/31917670/WOC_DISLOKASI_SENDI. Diakses tanggal 17 Oktober 2020.

Ermawan et al. (2019). Buku Pedoman Keterampilan Klinis (Basic Life Support and Trauma: Pembebatan dan Pembidaian). [e-book]. Surakarta: Fakultas kedokteran UNS, https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://skillslab.fk.uns.ac.id/wp-content/uploads/2019/02/smt-4-BLS-TRAUMA-BEBAT-BIDAI.pdf&ved=2ahUKEwilx8zGmrbsAhUFb30KHa9NBuMQFjAAegQIBxAB&usg=AOvVaw1ZX9w0z7C1A64F2i7hMSgx [diakses 15 Oktober 2020]

Fauzi, A. (2019). Rheomatoid Arthritis. Jurnal Keperawatan Unila 3(1) : 167

Mayo Clinic. (2019). Diseases and Conditions Dislocations.

Mansjoer, Arif, et al. (2014). Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid I. Jakarta:

Media Aesculapius.

Novrianto, A, et al. Avascular Necrosis Of Femoral Head. Malang (ID) : Universitas Brawijaya.

Price, S & Wilson, L. (2006).  Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC.

Safei, I, et al. (2019). Shoulder Hand Syndrome. Umi Medical Journal 4 (1) : 154-155.

Septadina, I.S. (2015). Prinsip Penatalaksanaan Dislokasi Sendi Temporomandibular. Majalah Kedokteran Sriwijaya 1 (1) : 61-65.

Tanto, Chris, et al. (2014). Kapita Selekta Kedokteran (Essentials of Medicine), Edisi IV Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius.

 

KUIS

Hai semuanyaaa 🌼🌼🌼

Setelah membaca makalah tentang dislokasi, kami ingin mengetahui pemahaman kalian tentang dislokasi nih!!!😆

So, tanpa berlama-lama langsung aja cus kekuisnya

KuisTentangDislokasi

SELAMAT MENGERJAKAN

Wahhh ngga sabar banget pengen tau nilai kalian setelah membaca makalah!!!😁

Comments

Popular posts from this blog

SINDROM KOMPARTEMEN

MAKALAH FRAKTUR (PATAH TULANG)